Tidak lengkap jika kita belajar trading forex, saham ataupun option tanpa pernah tahu apakah itu Krisis 2008 Subprime Mortgage Amerika Serikat. Berikut ini adalah ringkasan kronologis tentang krisis yang pernah terjadi di negara besar tersebut sekaligus pengaruhnya terhadap perdagangan dunia.
KPR Subprime adalah sebuah kredit perumahan yang diperuntukkan bagi masyarakat Amerika Serikat (AS) yang memiliki kemampuan finansial yang kurang memadai (non bankable). KPR Subprime mulai diperkenalkan pada tahun 1930-an. Pada saat itu terjadi sebuah krisis di AS yang dikenal dengan Great Depression. Pemerintah AS mendesain KPR Subprime untuk masyarakat kelas menengah ke bawah agar dapat memenuhi kebutuhan perumahan mereka. Menyadari KPR ini mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding KPR komersial yang lainnya, maka pemerintah AS melalui Federal Housing Administration (FHA) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Perumahan (Natonal Housing Act) memberikan asuransi bagi lender(perbankan).
Pada tahun 2001 Bank Sentral AS menurunkan tingkat suku bunga dengan cukup tajam, yaitu menjadi 1%. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menggenjot perekonomian AS yang saat itu pertumbuhannya minus. Dengan diturunkannya tingkat suku bunga, masyarakat AS pun mulai melakukan pinjaman untuk membiayai kegiatan usaha. Ada juga yang mengambil kredit untuk komsumsi. Kegiatan ini memberikan pengaruh positf terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Masyarakat yang memiliki tabungan pun mulai mengalihkan dananya untuk diinvestasikan. Karena tingkat suku bunga rendah maka tingkat bunga untuk Mortgage (KPR) juga rendah. Akhirnya banyak yang tertarik membeli rumah dengan KPR.
Melihat minat masyarakat untuk mengambil KPR semakin besar. Para pengembang properti yang mendapat pinjaman murah mulai melakukan ekspansi usaha. Tetapi dalam sektor ini, pembuatan produknya mempunyai waktu yang cukup lama. Akibatnya minat masyarakat AS yang tinggi, tidak dapat diserap sepenuhnya oleh para pelaku usaha properti sehingga harga properti mulai beranjak naik. Kenaikkan harga properti semakin meningkatkan minat masyarakat AS untuk membeli properti yang menyebabkan harganya semakin meningkat.
Kenaikkan harga properti ini dimanfaatkan oleh masyarakat AS untuk mendapat tambahan pendapatan dengan melakukan yang disebut refinancing. Meskipun rumah yang mereka beli belum terjual atau dijual tetapi kenaikkan harga yang mereka harapkan sudah dinikmati, yaitu dengan cara mengambil pinjaman tambahan dengan jaminan rumah yang sama. Pinjaman ini digunakan untuk konsumsi atau untuk investasi di properti lain karena tergiur dengan harga yang menanjak dengan drastis. Hal seperti ini yang membuat harga properti semakin mahal.
Pada masa itu juga, di dunia finansial terjadi beberapa perkembangan yang akan ikut memberikan sumbangan terhadap terjadinya krisis Subprime Mortgage. Perkembangan yang pertama adalah berlomba-lombanya institusi keuangan dalam menawarkan kredit KPR demi mengejar keuntungan. Bagi institusi keuangan, mengucurkan KPR memang sangat menarik karena jangka waktu pinjaman yg relatif panjang (bisa mendapat bunga untuk periode yg lebih lama) serta adanya jaminan berupa rumah. Tetapi seiring berjalannya waktu, dalam prakteknya mulai timbul beberapa ekses buruk.Dalam rangka menjaring customer yg lebih banyak dan keuntungan yg lebih tinggi, mereka mulai menerima customer yg sebenarnya secara finansial kurang mampu dan tidak layak untuk mengambil KPR (misalnya penghasilan kecil dan tidak tetap).
KPR yang dikucurkan pada orang-orang yang kurang layak inilah yang dikenal dengan Subprime Mortgage. Kualitas dari kredit KPR yang diberikan kepada customer semacam ini sangat meragukan dan beresiko, karena kemampuan pengambil KPR itu untuk membayar cicilannya sangat lemah. Meskipun demikian, bank-bank mau mengambil resiko dan mengucurkan kredit kepada segmen pasar ini karena tingkat bunga yang bisa mereka kenakan lebih tinggi (untungnya lebih besar). Selain itu institusi keuangan pada saat itu tidak berkeberatan karena mereka tetap mempunyai jaminan rumah dan berasumsi pasar properti akan naik terus.
Perkembangan kedua yang terjadi adalah semakin populernya sejenis KPR yg disebut ARM (Adjustable Rate Mortgage). Dalam rangka menarik customer agar mengambil KPR, institusi keuangan mengembangkan ARM yg pada intinya adalah KPR dimana tingkat suku bunganya dalam 2-3 tahun pertama sangat murah tetapi pada tahun selanjutnya akan naik lebih tinggi daripada KPR biasa. Banyak konsumen sektor properti yang lalu tertarik untuk mengambil KPR jenis ARM ini karena tergiur bunga awal yg sangat rendah. Pertimbangan tambahan mereka adalah sebelum masa 2-3 tahun itu habis, pasar properti pasti sudah naik lagi dan properti itu sudah akan mereka jual ataupun mereka bisa melakukan refinancing lagi dengan mengandalkan kenaikan harga itu.
Perkembangan ketiga yang terjadi adalah adalah maraknya pasar CDO (Collateralized Debt Obligation). Karena pasar KPR yg begitu aktif dan berkembang, institusi keuangan pun agak kewalahan untuk mengumpulkan dana yg bisa dipakai untuk memberikan KPR. Mereka pun mengembangkan produk yg namanya CDO (Collateralized Debt Obligation). Secara sederhana, CDO adalah obligasi. Dasar dari penerbitan obligasi CDO ini adalah KPR yg telah dikucurkan oleh bank ataupun institusi keuangan lainnya. Bunga yang dipakai untuk membayar bunga obligasi CDO adalah bunga yang mereka dapat dari kredit KPR yang telah mereka kucurkan. Dana yg didapat oleh institusi keuangan dari hasil penjualan obligasi CDO ini, lalu mereka kucurkan lagi utk memberikan KPR, yang lalu mereka pakai untuk menerbitkan obligasi CDO lagi. Siklus ini kemudian juga terjadi berulang-ulang.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara umum akan menimbulkan inflasi yang tinggi pula. Oleh karena itu, untuk mengendalikan tingkat inflasi tentunya suku bunga harus dinaikkan. Dalam kaitannya dengan mengontrol tingkat inflasi inilah, sekitar tahun 2004 pemerintah Amerika Serikat (dalam hal ini The Fed) pelan-pelan mulai menaikkan tingkat suku bunga. Seiring dengan dinaikkannya tingkat suku bunga oleh The Fed, perlahan-lahan tingkat suku bunga KPR mulai naik juga. Cicilan yang harus dibayar oleh para pengambil KPR pun mulai bergerak naik. Para pemilik rumah yang masih terikat KPR-nya mulai kelimpungan.
Satu per satu mulai berguguran. Yang pertama-tama tumbang adalah customer yang kurang layak untuk mendapatkan KPR ini. Karena ketidakmampuan untuk membayar maka rumah mereka pun disita kemudian di lelang. Di lain sisi, para pengembang properti yang terbuai oleh pertumbuhan pasar properti sudah terlanjur membangun properti dalam jumlah yg besar. Tingkat suku bunga yang mulai naik membuat calon pembeli mulai berkurang (karena untuk mengajukan KPR baru mulai mahal). Kombinasi dari properti baru yang belum terjual dan properti lama yang disita bank dan dilempar ke pasar, membuat pasar properti mulai kembung karena banyaknya properti yang tidak terjual. Akibatnya harga properti pun pelan-pelan mulai turun.
Turunnya harga properti ini lalu membawa satu efek yang mengerikan. Orang-orang yang masih terikat KPR sekarang mengalami dilema. Di satu sisi, beban cicilan hutang mereka kepada bank semakin besar (karena bunga naik), di lain sisi rumah mereka nilainya makin turun. Akibatnya mulai banyak timbul kasus dimana hutang KPR seseorang kepada bank itu jumlahnya lebih besar daripada nilai rumahnya sekarang. Orang-orang ini pun tidak mempunyai motivasi untuk membayar cicilan KPR-nya karena memang secara ekonomi tidak masuk akal jika kita membayar 600 juta untuk suatu barang harga 400 juta. Orang-orang tidak membayar KPR-nya, rumah disita oleh bank dan kembali dilemparkan kembali ke pasar. Timbul gelombang kedua banjir properti. Jumlah properti yang belum terjual semakin banyak dan harga semakin turun. Kini calon pembeli properti pun mulai memilih untuk wait & see.
Di satu sisi, supply rumah yang dijual semakin banyak sedangkan di sisi lain pembeli semakin berkurang. Pasar properti pun semakin khawatir karena penurunan harga semakin cepat. Siklus yg menyakitkan di atas pun berulang, semakin lama semakin cepat, persis seperti bola salju menggelinding turun gunung seperti yang sering kita lihat di kartun (Snowball effect).
Dalam keadaan pasar properti yang sudah sempoyongan seperti ini, muncul lagi sebuah serangan yg memukul dengan keras. Pada akhir tahun 2005 atau awal tahun 2006, KPR ARM yg sudah diambil masyarakat AS pun mulailah terasa. Semakin berat lagi beban cicilan bunga, semakin banyak yg tidak kuat bayar dan rumahnya kena sita. Meletusnya bubble di sektor properti ini sendiri tidak berakhir di sini, melainkan lalu menyebabkan pecahnya bubble lainnya, yaitu bubble derivatif yang kemudian menimbulkan Credit Crisis (Krisis Kredit).
Panjangnya urutan derivatif yang berbasiskan KPR Subprime menyebabkan dampak KPR Sub Prime menjadi sangat besar. Sebabnya, kredit perumahan bermasalah tak hanya berakhir pada nilai outstanding KPR Subprime AS yang mencapai US$605 miliar tersebut, melainkan terkait juga dengan nilai utang bermasalah yang ditimbulkan oleh berbagai derivatif KPR Subprime. Meski sejumlah lembaga keuangan telah menyebut proyeksi angka kerugian, namun demikian, tidak ada yang bisa memperkirakan jumlah pasti kerugian atau utang yang disebabkan seluruh derivatif KPR Subprime.
Proses penciptaan beragam produk keuangan derivatif yang dihasilkan dari KPR Subprime adalah sebagai berikut. Pertama, pihak bank menjual KPR Subprime-nya kepada lembaga keuangan yang disponsori pemerintah (government-sponsored enterprises) di bidang perumahan yaitu Fannie Mae dan Freddie Mac yang merupakan perusahaan kredit perumahan terbesar di AS. Kedua, oleh Fannie Mae dan Freddie Mac, KPR Subprime tersebut disekuritisasi dengan menerbitkan instrumen utang derivatif bernama Mortgage Backed Securites (MBS).
Ketiga, sejumlah MBS lalu dibeli oleh investment bank seperti Lehman Brothers, Morgan Stanley, UBS, HSBC, dan lain-lain. Berbagai investment bank ini kemudian melakukan sekuritasi atas MBS (sekuritisasi atas sekuritisasi) dengan menerbitkan Collateralized Debt Obligation (CDO). Langkah sekuritasasi ini terus berlanjut sehingga menghasilkan CDO turunan, synthetic CDO atau credit linknote (CLN). Dan kesemua produk derivatif itu diperdagangkan di pasar keuangan di AS dan dibeli investor dari berbagai negara. Nah, situasi inilah yang menyebabkan jangkauan krisis keuangan di AS menjadi sangat dalam dan luas yang sulit untuk diatasi. Ditambah lagi dengan bangkrutnya lembaga-lembaga financial dunia memperparah keadaan. Bursa saham dilanda kepanikan. Imbasnya seluruh bursa saham di dunia mengalami koreksi yang cukup tajam termasuk Bursa Efek Indonesia.